Abad ketiga Hijriyah, Mesir terus maju bergumul dengan ilmu. Seorang lelaki muslim tergopoh-gopoh kerana baru saja kalah berdebat dengan seorang Yahudi. Bila seorang muslim berdebat dengan Yahudi, biasanya seputar kebenaran Islam dan kenabian Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Lelaki yang kalah ini seperti baru tersadar bahawa sebagai seorang Muslim yang baik, ternyata dirinya terlalu lemah untuk beradu pendapat (Argument). Ia baik, tetapi tidak kuat.
Ia pun bertekad menemui guru yang juga sahabatnya, Muhammad bin Sahnun (wafat 260 H). Sang guru itu adalah ulama besar mazhab Maliki yang sangat terkenal dari Maghrib (Morocco). Di musim haji ia temui gurunya itu, lalu diajaknya ke Mesir. Menjelang memasuki kota, lelaki muslim yang baik itu bergegas terlebih dahulu menemui Yahudi yang pernah mengalahkannya. Ia siapkan tempat untuk beradu. Diajaknya lagi Yahudi itu menuntaskan debat. Tetapi kali ini, ia meminta guru sekaligus sahabatnya, Ibnu Sahnun untuk menghadapi Yahudi itu.
Terpaksa Ibnu Sahnun, ulama besar di masanya itu meladeni debat dengan Yahudi itu. Alot, panjang. Dhuhur tiba, debat pun dihentikan. Usai Dhuhur dilanjutkan. Terus, Ashar pun tiba. Ibnu Sahnun bersama kaum muslimin lainnya pun sholat. Usai Ashar, debat tetap berlangsung hingga Maghrib. Usai Maghrib, debat bersambung hingga Isya’. Usai Isya’, debat itu pun terus dilangsungkan.
Orang-orang semakin banyak menyaksikan, dan debat panjang itu menjadi peristiwa besar yang ramai dibicarakan masyarakat bahwa seorang ulama tersohor yang faqih dari Morocco tengah mendebat seorang Yahudi. Debat yang lama dan liat itu menggambarkan betapa orang Yahudi itu bukan orang yang bodoh. Ia pasti memiliki kecerdasan, logika, dan tentu saja kemampuan artikulasi yang meyakinkan, meski ia mengusung sesuatu yang salah.
Malam terus berlanjut dan debat itu pun terus berlangsung. Ketika malam berada di puncaknya, masih juga belum selesai. Debat itu bahkan terus dan terus berlanjut hingga datang Fajar. Hingga akhirnya, saat sholat Subuh tiba, Yahudi itu kehabisan perbedaan. Ia kalah, menyerah. Dan seketika itu juga, orang Yahudi tersebut menyatakan masuk Islam. Orang-orang yang ramai dan gaduh dalam pekik takbir.
Muhammad bin Sahnun pun beranjak dari panggung debat sambil mengusap keringat. Ia menemui murid dan sekaligus sahabatnya yang sebelumnya kalah oleh Yahudi itu. “Semoga Allah memaafkanmu, hampir saja kamu membuat kekacauan besar. Karena sebelum ini kamu berdebat dengan seorang Yahudi sementara kamu lemah (tidak punya pengetahuan yang kuat). Kalau orang Yahudi itu mengalahkanmu karena kelemahanmu, maka akan banyak orang yang akan tertipu (seakan Yahudi itu yang benar).”
Di panggung yang menggetarkan itu, Ibnu Sahnun telah mengajari muridnya juga, betapa penting menjadi orang kuat bila ingin meneguhkan kebenaran, kebaikan, dan nilai-nilai luhur dalam hidup ini.
Kita tidak hanya perlu orang baik, tapi kita juga memerlukan orang-orang yang kuat. Dengan kekuatan itulah sebuah kebaikan akan menjadi tampak dan diakui otoritasnya. Karena itu, pujian Islam kepada orang mukmin yang kuat menjelaskan satu hal, bahwa orang kuat bisa melakukan apa yang tidak dilakukan oleh orang lemah, meskipun kedua orang itu sama-sama orang baik dan sama-sama mendapat kebaikan. Orang kuat bisa meneguhkan kebaikan itu dihadapan kebathilan, sedangkan orang lemah menyimpan kebaikan itu untuk dirinya sendiri.
Ditengah segala jenis krisis yang merisaukan, krisis orang-orang kuat justru lebih mengkhawatirkan. Dan itulah yang kita hadapi saat ini. Kita tidak kekurangan orang-orang baik, tetapi kita kekurangan orang-orang yang kuat. Yang mau dan mampu mengambil peran-peran utama dalam kehidupan, dengan penuh kesungguhan sekaligus keteguhan.
Seringkali tanpa sedar kita membentuk diri sebagai orang yang serba tanggung. Serba tidak maksimal. Dalam soal disiplin ilmu yang kita tekuni misalnya, seringkali terlalu cepat kita merasa bosan belajar, sebelum kita sendiri memiliki penguasaan yang mendalam atas ilmu itu. Kita sudah merasa lelah sebelum memiliki konstruksi pengetahuan yang kokoh, belum pula menguasai metodologi yang argumentatif untuk menopang disiplin ilmu itu. Begitu pun tidak sedikit dari kita yang sudah bertabur popularitas dengan modal sedikit pengetahuan itu. Maka, kita punya banyak pengamat, tetapi kita tidak punya banyak ilmuwan yang kuat. Kita punya banyak penceramah, namun kita tidak punya banyak ulama yang kuat.
Dalam hal pekerjaan dan profesion yang kita ceburi, tidak jarang kita merasa begitu jemu, bahkan sebelum kita berhasil menjadi ahli dan pakar dibidang yang kita geluti itu. Kita mungkin bisa banyak hal, tetapi sangat sedikit-sedikit. Kita bisa, tetapi kebisaan itu tidak memadai. Kita mampu, tetapi kemampuan itu tidak pernah mencukupi.
Harta yang kita kumpulkan, walaupun belum seberapa, seringkali begitu cepat mengubah gaya hidup kita menjadi boros dan mewah. Hidup dengan potret diri yang serba tanggung, dalam segala hal.
Segala sesuatu yang bersanding dengan kekuatan, maka kekuatan itu akan memiliki dua fungsi mendasar bagi sesuatu itu: pertama, fungsi peneguhan dan kedua, fungsi penjagaan. Peneguhan terkait eksistensi. Sedang penjagaan terkait keberlangsungan. Bila kebenaran bersanding dengan segala unsur-unsur kekuatan, maka kekuatan itu akan memerankan fungsi peneguhan. Kekuatan itu akan menampakkan bahwa kebenaran itu memang benar. Lalu setelah itu, kekuatan itu akan menjaganya dari segala rongrongan, godaan dan upaya-upaya untuk meredam kebenaran tersebut. Oleh karena itu, di masa awal kenabiaannya, Rasulullah secara khusus memohon kepada Allah Ta’ala agar Islam ditopang oleh salah satu dari dua orang yang sangat kuat, Umar bin Khattab atau Abu Jahal. Dan Allah memilihkan Umar. Maka sejak itu, Islam memiliki peneguh yang kuat. Kebenaran pun bersanding dengan kekuatan.
Begitu juga sebaliknya. Ketika unsur-unsur kekuatan berada di tangan orang-orang jahat, maka kekuatan itu juga sama fungsinya. Maka kita dengan mudah bisa mendapati orang-orang yang menyanjung tinggi kebathilan, terus-menerus mengokohkan kebathilan itu dengan berbagai teori ilmiah yang kuat. Membumbuinya dengan argumen-argumen yang meyakinkan.
Hanya orang-orang kuat yang mengerti bahwa itu semua adalah tipuan yang menyesatkan. Hanya orang-orang kuat yang menyadari bahwa peradaban orang-orang bathil itu lemah, meski tampak kokoh. Tetapi orang-orang lemah akan mudah manggut-manggut, mengiyakan, dan seterusnya terseret ke dalam pusaran yang menjerumuskan.
Al-Qur’an memerintahkan kaum muslimin untuk selalu siap siaga dan menyiapkan kekuatan. Rasulullah menjelaskan bahwa kekuatan itu maksudnya memanah atau yang serupa. Tapi para ulama sepakat, bahwa kekuatan itu juga meliputi banyak dimensi dan berbagai sisi. Itu bisa kekuatan ilmu, kekuatan pengetahuan, kekuatan fisik, kekuatan peradaban, kekuatan persatuan, kekuatan teknologi, dan segala macam kekuatan lainnya.
Kini disekeliling kita terlampau banyak “Yahudi”, atau pikiran Yahudi yang pandai beradu beragumen, tetapi tidak ada lagi Muhammad bin Sahnun. Krisis orang-orang kuat dimulai dari krisis mentalitas. Bukan lantaran kita tidak tahu cara menjadi orang kuat. Tapi seringkali karena kita lupa, bahwa kekuatan besar diperoleh dari akumulasi kekuatan kecil. Bukan lantaran kita tidak tahu jalan menjadi orang kuat. Tapi banyak dari kita yang tidak kuat menempuh jalan untuk menjadi orang kuat. Ongkos untuk menjadi orang baik mungkin kesabaran, tapi ongkos menjadi orang kuat adalah ketekunan.
Sumber:
Majalah Tarbawi Edisi 201 Th. 10, 15 April 2009
http://jiwang.org/groups-ilmiah